latar belakang cyber law

Senin, 12 November 2012

Implikasi Perkembangan Dunia Cyber
Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia di milenium ketiga antara lain ditandai dengan pemanfaatan Internet yang semakin meluas dalam berbagai akiivitas kehidupan manusia,bukan saja di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang termasukIndonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan ”informasi” sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan. Untuk merespon perkembangan ini Amerika Serikat sebagai pioner dalam pemanfaatan Internet telahmengubah paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi ekonomi yang berbasis jasa (from a manufacturing-based economy to a service-basedeconomy).Peruhahan ini ditandai dengan berkurangnya peranan traditional law materials dansemakin meningkatnya peranan the raw marerial of a service-based economy yakniinformasi dalam perekonomian Amerika.
Munculnya sejumlah kasus yang cukup fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1998telah mendorong para pengamat dan pakar di bidang teknologi informasi untukmenobatkan tahun tersebut sebagai moment yang mengukuhkan Internet sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Ametika saat ini. Salah satu kasus yang sangat fenomenal dan kontroversial adalah ”Monicagate” (September 1998) yaitu skandalseksual yang melibatkan Presiden Bill Clinton dengari Monica Lewinsky mantan pegawai Magang di Gedung Putih.
Masyarakat dunia geger, karena laporan Jaksa Independent Kenneth Star mengenaiperselingkuhan Clinton dan Monica setebal 500 halaman kemudian muncul di Internetdan dapat diakses secara terbuka oleh publik.Kasus ini bukan saja telah menyadarkanmasyarakat Amerika, tapi juga dunia bahwa lnternet dalam tahap tertentu tidak ubahnyabagai pedang bermata dua.
Eksistensi Internet sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Amerika lebihditegaskan lagi dengan maraknya perdagangan electronik (E-Commerce) yang diprediksikan sebagai ”bisnis besar masa depan” (the next big thing). Menurut perkiraan Departemen Perdagangan Amerika, nilai perdagangan sektor ini sampai dengan tahun2002 akan mencapai jumlah US $300 milyar per tahun.
Demam E-Commerce ini bukan saja telah melanda negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa, tapi juga telah menjadi trend dunia termasuk Indonesia.Bahkan ada       semacam kecenderungan umum di Indonesia, seakan-akan ”cyber law” ituidentik dengan pengaturan mengenai E-Commerce. Berbeda dengan Monicagate,fenomena E-Commerce ini boleh dikatakan mampu menghadirkan sisi prospektif dariInternet.
Jelaslah bahwa eksistensi Internet disamping menjanjikan sejumlah harapan,  pada saatyang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lain munculnya kejahatanbaru yang lebih canggih dalam bentuk ”cyber crime”, misalnya munculnya situs-situsporno dan penyerangan terhadap privacy seseorang. Disamping itu mengingat karakteristik Internet yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnyaberoperasi secara virtual (maya), Internet juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yangtidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing law).Kenyataan ini telah  menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan Internet
Atas dasar pemikiran diatas, penulis akan mencoba untuk membahas mengenai pengertian ”cyber law” dan ruang lingkupnya  serta  sampai sejauh mana urgensinya bagiIndonesia untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan hukum akibat pemanfaatan Internet yang semakin meluas di Indonesia.
Cyberspace
Untuk sampai pada pembahasan mengenai cyber law, terlebih dahulu perlu dijelaskan satu istilah yang sangat erat kaitannya dengan cyber law yaitu cyberspace (ruangmaya), karena cyberspace-lah yang akan menjadi objek atau concern dari cyber law.Istilah cyberspace untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilahyang sama kemudian diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light.
Menurut Gibson, cyberspace ”... was a consensual hallucination that felt and looked likea physical space but actually was a computer-generated construct representing abstractdata”. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan komputer.istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang elektronik (electronicspace), yaitu sebuah masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi yang terjalindalam sebuah jaringan kornputer (interconnected computer networks).’ Pada saat ini,cyberspace sebagaimana dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah:”... represents avast array of computer systems accessible from remote physical locations”.
Aktivitas yang potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara pasti mengingat kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat dan mungkin sulit diprediksi.Namun, saat ini ada b eberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan di cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bullelin Board System, ConferencingSystems, Internet Relay Chat, Usenet, EmaiI list, dan entertainment.Sejumlah aktivitastersebut saat ini dengan mudah dapat dipahami oleh masyarakat kebanyakan sebagai aktivitas yang dilakukan lewat Internet. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa apayang disebut dengan ”cyberspace” itu tidak lain.  adalah Internet yang juga sering disebut sebagai ”a network of net works”. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada jugayang menyebut ”cyber space” dengan istilah ”virtual community” (masyarakat maya)atau ”virtual world” (dunia maya).
Untuk keperluan penulisan artikel ini selanjutnya cyberspace akan disebut dengan
Internet. Dengan asumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat (manusia) yang ada di ”physical word”(dunia nyata), maka kemudian muncul pemikiran mengenai perlunya aturan hukum untuk mengatur aktivitas tersebut. Namun, mengingat karakteristik aktivitas di Internet yang berbeda dengan di dunia nyata, lalu muncul pro kontra mengenai bisa dan tidaknya sistem hukum tradisional/konvensional (the existing law) yang mengatur aktivitas tersebut. Dengan demikian, polemik ini sebenarnya bukan mengenai perlu atau tidaknya suatu aturan hukum mengenai aktivitas di Internet, melainkan mempertanyakan eksistensi sistem hukum tradisional dalam mengatur aktivitas di Internet.
Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet
Secara umum munculnya pro-kontra bisa atau tidaknya sistem hukum tradisional mengatur mengenai aktivitas-aktivitas di Internet disebabkan karena dua hal yaitu; (1)karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial, dan (2) sistem hukum traditional (the existing law) yang justru bertumpu pada batasan-batasan teritorial dianggap tidak cukup memadai untukmenjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet. Pro-kontra mengenai masalah ini sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum tradisional/konvensional.
Istilah ”sistem hukum tradisional/konvensional” penulis gunakan untuk menunjuk kepada sistem hukum yang berlaku saat ini yang belum mempertimbangkan pengaruh-pengaruh dari pemanfaatan Internet.
Mereka beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah ”surga demokrasi” (democraticparadise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalu-lintas ide secara bebas dan terbuka tidak boleh dihambat dengan aturan yang didasarkan atas sistem hukum tradisional yang bertumpu pada batasan-batasan territorial. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut kelompok ini Internet harus diatur sepenuhnya oleh sistem hukum baru yang didasarkan atas norma-norma hukum yang baru pula yang dianggap sesuai dengan karakteristik yang melekat pada Internet.Kelemahan utama dari kelompok ini adalah mereka menafikkan fakta, bahwa meskipun aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (physicalworld).
Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan.Tanpa harus menunggu akhir dari suatu perdebatan akademis mengenai sistem hukum yang paling pas untuk mengatur aktivitas di Internel.Pertimbangan pragmatis yang didasarkan atas meluasnya dampak yang ditimbulkan oleh Internet memaksa pemerintah untuk segera membentuk aturan hukum mengenai hal tersebut.Untuk itu semua yang paling mungkin adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama yaitu mereka menafikkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di Internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Merekaberpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Interne tharus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip ”common law”yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek-aspek tertentu dalam aktivitas ”cyberspace” yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi- transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping ju ga fakta bahwa beberapa transaksi di Internet tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum tradisional.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates